Teknologi Terbaru 1 | Inovasi Teknologi AeroHydro Culture Pertanian - Teknologi Terbaru 1 | Technology News 2 | News Technology 2

Breaking

About Me

Minggu, 12 Mei 2019

Teknologi Terbaru 1 | Inovasi Teknologi AeroHydro Culture Pertanian

Inovasi Teknologi AeroHydro Culture, Bisa Tanam Sawit Ramah Industri di Lahan Gambut
Lahan gambut di Desa Telesung, Kecamatan Rangsang Pesisir. 

Jakarta, Indonesia - Professor Emeritus dari Universitas Hokkaido Jepang dan Mitsuru Osaki selaku Presiden Japan Peatland Society (JPS), baru-baru ini mengucapkan penemuannya mengenai inovasi sistem kultur tumbuhan terbaru mempunyai nama AeroHydro Culture.

Sistem ini dapat dipakai guna pengelolaan ekosistem gambut yang lebih ramah untuk industri.

Teknologi ini digadang-gadang dapat menjadi penyelesaian berkelanjutan untuk upaya restorasi gambut, khususnya di distrik konsesi yang dipakai untuk bidang pertanian dan perkebunan.

Osaki yang sudah menganalisis lahan gambut sepanjang karir professionalnya mengatakan, pengelolaan ekosistem gambut terbilang kompleks.

Di samping keunikan ciri khas alami ekosistem gambut pun karena banyaknya kepentingan kalangan masyarakat yang terlibat.

“Ada sejumlah elemen yang mesti dipertimbangkan dalam mengelola ekosistem gambut, yaitu tinggi muka air, kedudukan nutrisi tanah dan air gambut serta ketersediaan oksigen,” katanya, Kamis (11/4/2019).

Alasan utama terhambatnya perkembangan tanaman menurut keterangan dari Osaki, bilamana tinggi muka air ditingkatkan levelnya (mendekati permukaan ekosistem gambut) atau dipertahankan tetap tinggi.


Sehingga kurangnya pasokan oksigen, dan kurangnya ketersediaan nutrisi guna tanaman.

Oleh sebab itu, urgen untuk dilaksanakan terobosan baru yang bisa menjadi penyelesaian atas kendala ekosistem ini.

Lanjut dia, lahan gambut seringkali kaya air namun minim nutrisi. Bagi itu, kehadiran teknologi AeroHydro Culture ini, dapat menjadi solusi supaya sebagian akar sedang di atas dan beberapa lainnya sedang di air.

Dengan teknik ini, tumbuhan tetap menemukan nutrisi yang dibutuhkan.

Diharapkan produktivitas tumbuhan pertanian dan perkebunan tetap tinggi meskipun level tinggi muka air ditingkatkan ke level tidak cukup dari 40 cm di bawah permukaan gambut, mengekor Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Bakteri-bakteri bermanfaat juga ditanam pada tanah sampai-sampai tanaman menyerap nutrisi secara maksimal.

“Teknologi ini bertujuan supaya tanaman dapat dijaga guna tetap produktif tanpa perlu menghanguskan atau mengeringkan ekosistem gambut guna memasok nutrisi dan oksigen yang diperlukan oleh tanaman. Untuk sedangkan ini, berkolaborasi dengan BRG kami melakukan percobaan di Siak dan Palangkaraya," ujarnya.

Program ini dipaparkan Osaki, baru bakal dijalankan pada Juni nanti. Kemungkin satu tahun lagi baru dapat dilihat hasilnya.


"Tapi saya optimis,” tuturnya.

Sementara itu, Osaki pun menyatakan dukungannya terhadap Pemerintah Indonesia guna menunda pemberian izin baru pendahuluan ekosistem gambut guna kepentingan lahan perkebunan.

Menurutnya dengan memakai teknologi AeroHydro Culture ini, maka dapat meningkatkan produktifitas kelapa sawit dan tanaman-tanaman kering lain sampai-sampai tidak perlu guna mengkonversikan lahan gambut lainnya menjadi lahan pertanian.

“Lahan gambut menghadapi pengrusakan luar biasa sebab deforestasi, konversi dan saluran untuk pertanian, dan pembangunan infrastruktur,” sebutnya.

“Namun, restorasi lahan gambut tidak lumayan hanya dengan mengajak orang tidak menghanguskan hutan dan lahan. Maka dari tersebut upaya berkelanjutan dari sekian banyak  pihak perlu dilaksanakan untuk menjaga supaya ekosistem gambut di Indonesia terawat dengan baik,” imbuh Osaki.

Dia menambahkan, lahan gambut sangat urgen untuk memerangi evolusi iklim dan pembangunan berkelanjutan yang lebih luas.

Karena itu, perlindungan dan pemulihan lahan gambut sangat urgen dalam transisi mengarah ke ekonomi rendah karbon dan sirkuler.

Gambut yang sehat bakal menyerap dan menyimpan karbon. Tetapi ketika terdegradasi, karbon dilepaskan, selesai di atmosfer sebagai karbondioksida.

Dia membeberkan, lahan gambut yang bobrok berkontribusi selama 10% dari emisi gas lokasi tinggal kaca dari sektor pemakaian lahan.

Emisi CO2 dari lahan gambut yang dikeringkan diduga memproduksi 1,3 gigaton CO2 masing-masing tahun. Ini setara dengan 5,6% dari emisi CO2 antropogenik global.

Tidak laksana hutan hujan atau terumbu karang, lahan gambut beberapa besar dilalaikan oleh semua peneliti dan pembuat kebijakan.

Secara historis, lahan gambut di anggap sebagai tanah terbengkalai yang bisa dengan gampang dikonversi menjadi pertanian.

Di Indonesia, lahan gambut tidak sedikit dikeringkan untuk menyerahkan ruang untuk perkebunan kelapa sawit atau pulp dan kertas.

Untuk diketahui, lahan gambut yang dikeringkan dengan teknik dibakar dapat memicu kebaran masif.

Pada 2015, lahan gambut Indonesia terbakar secara massal sesudah bertahun-tahun merasakan pengeringan dan penggundulan hutan.

“Lahan gambut memang adalah ekosistem yang bertolak belakang dari sudut pandang fungsional, pemrosesan bahan kimia sampai nutrisi. Gambut dapat dibilang ialah salah satu lingkungan sangat keras di planet ini tetapi pun adalahsalah satu yang terpenting. Hal yang sangat penting dalam mengamankan lahan gambut merupakan, saya dan anda butuh melihatnya secara berbeda,” tandas Osaki. (Tribunpekanbaru.com/ Rizky Armanda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar